Menjadi Sufi
yang Kaya
Oleh: Nasiruddin SAg
DI tengah era modern yang diwarnai
kehidupan keduniaan (hedonisme) dan materialisme, masyarakat selalu disibukkan
oleh aktivitas yang berkenaan dengan pengumpulan materi sebanyak mungkin. Ini
seiring dengan tuntutan dan kebutuhan hidup yang makin kompetitif dalam arus
globalisasi yang selalu berorientasi bisnis.
Dengan kata
lain, manusia hidup di dunia ingin menjadi kaya dengan menempuh cara apa pun,
halal atau haram. Keinginan untuk kaya bukan lagi keharusan tetapi sudah
menjadi sifat dasar manusia modern.
Dalam
tradisi tasawuf, para sufi menempatkan kemiskinan dan al-faqru(kefakiran)
pada maqam (jenjang) yang tinggi sebagai salah satu syarat
agar dapat wusul (sampai) dan makrifat (mengenal)
Allah. Mereka mempraktikkan al-faqru dengan gaya hidup yang
benar-benar jauh dari kemewahan dan kemegahan dunia.
Mereka
memilih jalan hidup yang penuh penderitaan, kesedihan, cobaan dan kemiskinan.
Sebagai
contoh Imam Ghazali dalam kitab karangannya Ihya Ulumiddin,
memaparkan keunggulan dan keutamaan al-faqru sampai
berpuluh-puluh halaman tetapi dalam memaparkan keutamaan harta dan kekayaan
hanya sedikit dan sekilas.
Sebenarnya
Islam tidak pernah melarang umatnya untuk engumpulkan harta kekayaan (hubud
dunya) sebanyak mungkin bahkan enganjurkan umatnya tidak melupakan bagian
dunianya di samping akhiratnya. Islam menganjurkan adanyabalance kepentingan
duniawi dan ukhrawi sebagaimana firman Allah: "... Dan carilah pada apa
yang telah dianugerahkan Allah padamu kebahagiaan negeri akhirat dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan dunia". (QS Al-Qashash: 77).
Dikuatkan
hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Al-Khatib dari Anas: "Sebaik-baik kamu
adalah orang yang tidak meninggalkan akhirat untuk memperoleh dunianya dan
tidak meninggalkan dunianya untuk memperoleh akhiratnya (tetapi harus keduanya)
dan janganlah kamu membuat susah masyarakat".
Islam hanya
tidak membenarkan hati kita terlalu kumanthil (lekat-lekat-red)
terhadap harta benda sehingga dapat melupakan dan melalaikan kewajiban taat dan
menyembah Allah SWT. Inilah inti
dari sifat zuhud (menghindari dunia). Banyak orang salah
mengartikan bahwa zuhud harus miskin dan menderita tanpa harta
benda.
Padahal
pengertian zuhud yang sebenarnya adalah sebagaimana penjelasan
Sufi Agung Sufyan as-Tsauri, "Memendekkan angan-angan hati kita kepada
urusan dunia bukan berarti makan yang tidak enak dan berpakaian
compang-camping". Jadi bila ada orang yang kaya raya tetapi hatinya tidak
selalu memikirkan dunia berarti orang tersebut mempunyai sifat zuhud dan
sebaliknya bila ada orang miskin tetapi hatinya selalu memikirkan urusan dunia
berarti orang tersebut tidak zuhud tetapi hubud dunya.
Intinya, zuhud bukan dilihat dari kaya atau miskin tetapi dari
hatinya.
Pengertian
Zuhud
Pengertian zuhud sendiri
dalam Alquran dijelaskan dalam surat Al-Hadid ayat 23: "Supaya kau tidak
berputus asa terhadap sesuatu yang telah hilang di hadapanmu dan tidak terlalu
gembira terhadap karunia yang datang padamu".
Ada yang
unik dari penjelasan Al-Ghazali dalam Ihya-nya: "Az-Zuhdu
fi az-Zuhdi bin idhari diddihi" (zuhud dalam pengertian zuhud yang
sebenarnya adalah menampakkan perbuatan yang seolah-olah bertentangan
dengan zuhud itu sendiri). Beliau mengartikannya kesempatan
seorang arif yang zuhud adalah meninggalkan keinginan
syahwatnya karena Allah tetapi terkadang juga menampakkan dirinya mengikuti
syahwatnya dengan tujuan menutupi derajat kesufiannya di mata masyarakat
sehingga ia tidak terganggu dari penilaian mereka seperti dihormati, dipuji,
dikultuskan, diagungkan atau dicela.
Dalam
Islam, harta kejayaan bisa menjadi sesuatu yang terpuji bila digunakan untuk
kemaslahatan dan kepentingan dunia dan agama, sehingga dalam Alquran, Allah
sering menyebut harta dengan khair (kebaikan) dengan catatan
banyak atau sedikitnya rezeki tidak ditentukan ketakwaan seseorang tetapi
memang sudah ditentukan dalam catatan amal sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
"Rezeki telah dibagi dan dialokasikan sesuai bagian yang telah ditentukan.
Ketakwaan seseorang tidak berarti menambah rezekinya dan kefasikan seseorang
tidak pula berarti mengurangi rezekinya".
Seorang
sufi ternama, Said bin Musayyab pernah berkata tidak ada kebaikan bagi orang
yang tidak mau mengumpulkan harta dari barang halal. Bahkan Sufyan as-Tsauri
dengan tegas mengatakan, "harta di zaman sekarang adalah senjata ampuh
bagi orang mukmin". Rasulullah SAW sendiri mengakui betapa pentingnya
harta kekayaan sebagai penopang hidup manusia modern baik urusan dunia maupun
agamanya sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh At-Tabrani :
"Apabila akhir zaman datang maka penopang agama dan dunia seseorang adalah
dirham dan dinar". Dari penjelasan di atas, jelaslah menanamkan pola hidup
miskin di zaman modern sebagaimana yang diajarkan para sufi terdahulu merupakan
konsep usang yang harus ditinggalkan dan sudah tidak cocok dengan era
globalisasi sekarang.
Terbukti
kini banyak para kiai, ulama dan mursyid tarekat yang nota bene pewaris para
nabi mempunyai rumah mewah, kendaraan yang sangat mahal dan harta yang
berlimpah. Sebuah pemandangan yang kontras dan jauh berbeda dengan gaya hidup
panutannya, Rasulullah SAW.
Beliau
menggoreskan sejarah hidupnya dengan hidup miskin tetapi tidak berarti menyuruh
atau menganjurkan hidup miskin, sebab kenyataannya banyak sahabat beliau yang
kaya raya bahkan beliau mengawinkan dua putrinya kepada sahabat yang kaya raya,
Ustman bin Affan.
Ketika
beliau ditawari hidup kaya oleh Allah, beliau menjawab dengan dua alasan,
pertama, beliau malu kepada para nabi dan rasul terdahulu karena mereka
merasakan kepedihan luar biasa dalam menyampaikan Risalah Allah, tidak hanya
lapar dan miskin tetapi juga cacian, siksaan dan cobaan yang datang silih
berganti, toh mereka tetap sabar dan tabah.
Ketika
beliau ditanya tentang kebiasaan seseorang yang berpakaian dan memakai
perhiasan bagus beliau menjawab: Inna Allah jamilun yuhibbul jamal(Allah
adalah Tuhan Yang Maha Indah dan menyukai keindahan). Jadi beliau juga memberi
justifikasi kepada umatnya untuk hidup mewah asal tetap taat dan tidak lalai
terhadap kewajiban Allah. Adapun kepada umatnya yang hidup miskin, beliau
menghibur dan meyakinkan bahwa Allah akan memberi anugerah yang besar melebihi
orang kaya kepada orang miskin di akhirat kelak asal sabar dan menerima.
Yang
menarik, ada penjelasan dari seorang sufi besar Imam as-Syadzili yang selalu
menganjurkan hidup "ngota" dan parlente, beliau menyarankan pada para
sahabatnya, "Makanlah makanan yang paling lezat, minumlah minuman yang
paling enak, berpakaianlah dengan pakaian yang paling mahal sebab bila
seseorang telah melakukan itu semua dan berkata "Alhamdulillah", maka
semua anggota badannya menjawab dan mengakui dengan bersyukur. Sebaliknya bila
seseorang makan hanya gandum dengan garam, berpakaian lusuh, tidur di lantai,
minum air tawar kemudian ia berkata, "Alhamdulillah", maka seluruh
anggota badannya malah marah, bosan dan mencela pada orang yang mengatakan itu,
sebab anggota badan tersebut merasa tidak diberi hak yang selayaknya, tidak
sesuai antara pernyataan syukur dan kenyataannya. Seandainya ia bisa melihat
langsung, tentunya ia akan melihat kebosanan dan kemarahannya. Tentunya ia
memilih dosa karena membohongi anggota badannya, kalau begitu lebih baik orang
yang menikmati kesenangan dunia dengan penuh keyakinan kepada Allah sebab pada
hakikatnya orang yang menikmati kesenangan dunia adalah melakukan sesuatu yang
diperbolehkan Allah dan barang siapa menimbulkan kebosanan dan kemarahan pada
anggota badannya pada hakikatnya melakukan sesuatu yang diharamkan Allah".
Dari
penjelasannya, beliau memberikan pembenaran dan pembelaan yang kuat bahwa
seorang sufi boleh hidup mewah di dunia dengan catatan memakai pakaian yang
mahal dengan niat menampakkan nikmat Allah bukan untuk memuaskan nafsunya. Juga
makan dan minum yang lezat dengan niat agar seluruh anggota badannya dapat
bersyukur dengan anugerah yang telah diberikannya.
Bahkan
beliau tidak menghendaki seorang sufi yang miskin, kelemproh, lusuh, kumal,
dekil dan kucel. Ini dibuktikan dalam sejarah, beliau selalu memakai pakaian
yang mewah dan mahal, berkendaraan yang bagus dan berbagai fasilitas yang serba
lux, sangat berbeda dengan gaya hidup para sufi pada umumnya. Toh beliau tetap
mempunyai reputasi dan nama yang harum sebagai sufi agung, dijadikan panutan
dan dikagumi hingga sekarang. Sebab kenyataannya beliau menggunakan fasilitas
kemewahan dunia semata-mata untuk kepentingan ibadah kepada Allah dan untuk
kepentingan umum umat Islam pada zamannya, sebuah ibadah sosial yang dianjurkan
dalam Islam.
Imam
as-Syadzili mengilustrasikan gaya hidup mewahnya dengan sebuah kisah. Pada
suatu hari ada seeorang yang hendak bertemu Imam Abu Hasan Ali al-Syadzili di
rumahnya. Karena belum tahu rumahnya, ia bertanya kepada orang lain, orang itu
segera pergi ke tempat yang ditunjukkan, begitu sampai ke alamatnya, ia tidak
jadi masuk ke rumah itu, karena ia mendapatkan sebuah bangunan rumah bagai
istana raja yang sangat indah dan megah. Ia tidak percaya kalau itu rumah
tempat tinggal imam yang dicarinya. Dalam hatinya ia yakin bahwa seorang wali
tidak akan hidup semewah itu. Seorang wali adalah orang yang hidup sederhana
dan pasti mengamalkan zuhud, yaitu sikap menjauhi dunia. Melihat
kenyataan itu, ia segera pulang, tetapi di tengah jalan ia berjumpa dengan
seorang pengendara kereta kuda yang mewah mempersilakan naik bersamanya. Dengan
penuh rasa waswas akhirnya ia menerima tawaran orang tersebut. Dalam
pembicaraan di atas kereta, diketahuilah bahwa pengendara kereta itu tidak lain
Imam Abu Hasan as-Syadzili sendiri.
Ketika ia
tahu siapa yang ditumpanginya, ia pun tidak berani menyembunyikan niatnya
semula dan mengatakan bahwa sebenarnya ia baru saja pergi ke rumah beliau.
Namun niat itu digagalkan karena tidak percaya bahwa rumah itu adalah rumah
Sang Imam. Mendengar penuturan tersebut, Imam Abu Hasan kemudian memberikan
sebuah gelas yang berisi minuman anggur pilihan. Ia sangat kagum karena selama
hidupnya belum pernah melihat dan meminum anggur semacam itu. Rasa kagum itu
membuatnya merasa takut kalau anggur itu tumpah atau gelasnya terlepas dari
genggamannya. Apalagi kereta yang ia tumpangi sedang lari kencang mengelilingi
kota. Seluruh perhatiannya tertuju pada gelas dan anggur sehingga ia tidak bisa
menikmati indahnya perjalanan dan megahnya pemandangan kota sekelilingnya.
Setelah
selesai mengelilingi kota, kereta beliau berhenti di halaman rumahnya tanpa
disadari orang tersebut, ia terus saja memperhatikan anggurnya. Ia baru sadar
setelah Sang Imam bertanya kepadanya: "Bagaimana perjalanan tadi, apakah
kamu bisa menikmati keindahan kota ini?" Ia tidak bisa menjawab karena
selama perjalanan memang tidak melihat apa-apa selain anggur yang ada di
tangannya. Sebelum orang itu menjawab, Imam Syadzili melanjutkan kata-katanya,
"Nah, antara kamu, keindahan kota dan anggur di tanganmu itu ibarat aku
sendiri dengan hartaku dan Allah dalam batinku. Karena perhatianku hanya
tertuju kepada Allah, aku tidak pernah peduli apakah kota ini indah atau tidak."
Orang itu memahami apa yang dilihat dan didengarnya. Ia gembira karena
mendapatkan pelajaran zuhud dari Sang Imam.(18)
-
Nasiruddin SAg, aktivis LSM Darul Munajat, Brebes.
Sumber: http://www.suaramerdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar