Sabtu, 15 Oktober 2016

Sufi



Menjadi Sufi yang Kaya
Oleh: Nasiruddin SAg
DI tengah era modern yang diwarnai kehidupan keduniaan (hedonisme) dan materialisme, masyarakat selalu disibukkan oleh aktivitas yang berkenaan dengan pengumpulan materi sebanyak mungkin. Ini seiring dengan tuntutan dan kebutuhan hidup yang makin kompetitif dalam arus globalisasi yang selalu berorientasi bisnis.
Dengan kata lain, manusia hidup di dunia ingin menjadi kaya dengan menempuh cara apa pun, halal atau haram. Keinginan untuk kaya bukan lagi keharusan tetapi sudah menjadi sifat dasar manusia modern.
Dalam tradisi tasawuf, para sufi menempatkan kemiskinan dan al-faqru(kefakiran) pada maqam (jenjang) yang tinggi sebagai salah satu syarat agar dapat wusul (sampai) dan makrifat (mengenal) Allah. Mereka mempraktikkan al-faqru dengan gaya hidup yang benar-benar jauh dari kemewahan dan kemegahan dunia.
Mereka memilih jalan hidup yang penuh penderitaan, kesedihan, cobaan dan kemiskinan.
Sebagai contoh Imam Ghazali dalam kitab karangannya Ihya Ulumiddin, memaparkan keunggulan dan keutamaan al-faqru sampai berpuluh-puluh halaman tetapi dalam memaparkan keutamaan harta dan kekayaan hanya sedikit dan sekilas.
Sebenarnya Islam tidak pernah melarang umatnya untuk engumpulkan harta kekayaan (hubud dunya) sebanyak mungkin bahkan enganjurkan umatnya tidak melupakan bagian dunianya di samping akhiratnya. Islam menganjurkan adanyabalance kepentingan duniawi dan ukhrawi sebagaimana firman Allah: "... Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah padamu kebahagiaan negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan dunia". (QS Al-Qashash: 77).

Rabu, 05 Oktober 2016

Mutiara



Kisah Den Dur Tremas Berubah Jadi "Debog" kala Ditangkap PKI
KH Abdurrozak Bin Abdullah Attarmasi (Den Dur).
Jauh sebelum peristiwa G30S PKI bergejolak, pada tahun 1948 telah terjadi satu peristiwa berdarah yang dikenal dengan istilah Affair Madiun. Pada waktu itu para kiai dan tokoh masyarakat menjadi sasaran beringas orang-orang komunis. Pemberontakan diawali dari kota Madiun dan kota Solo, maka Pacitan yang juga termasuk wilayah karesidenan Madiun juga bergolak. Maka kaum agama yang menjadi lawan utama kaum atheis menjadi korban. 
Disaat masyarakat merasakan ketakutan yang luar biasa karena banyaknya peristiwa pembunuhan oleh PKI, pesantren menjadi satu-satunya tempat yang aman untuk mereka berlindung. Namun, PKI jutru menyasar pesantren-pesantren karena dianggap sebagai tempat untuk membangun kekuatan melawan pemberontakan PKI. 
Salah satu Pesantren di Pacitan yang menjadi target operasi PKI adalah Pesantren Tremas. Dimana para pengasuhnya menjadi target utama untuk disika dan dibunuh. Namun ada kejadian menarik saat anggota PKI ingin menagkap salah satu Kiai pesantren Tremas yang bernama KH Abdurrozak Bin Abdullah Attarmasi atau yang dikenal dengan sebutan Den Dur. Den Dur merupakan salah satu adik dari Syech Mahfudz Attarmasi yang kesohor kealimanya itu.
Pada suatu malam  tahun 1948, sekitar empat ratus tentara PKI mengepung kediaman Den Dur yang saat  itu masih bertempat tinggal di lingkungan pesantren Kikil, yang letaknya hanya setengah kilo meter dari pesantren Tremas. 
Saat itu dua orang pimpinan pasukan PKI masuk ke dalam kediaman hendak menangkap Den Dur. Dua orang itu langsung menodongkan senjata api laras panjang ke arah Den Dur. Melihat suasana mencekam  itu, semua yang ada di dalam rumah merasa sangat ketakutan termasuk diantaranya adalah isteri Den Dur dan putera-puteranya antara lain Gus Wakil, Gus Jami’, Amin, Mustaqim serta tiga orang abdi Ndalemnya yang diantara  mereka bernama Slamet.